Blog ini dibuat oleh Hambrah S Nunkiawati mengenai filsafat.
Nunki ialah salah satu anggota kelompok filsafat "Veritas" dari kelas LB64.

Anggota lain kelompok ini: Ivana, Maulidya Audita, Catharina Weni, Abdullah Fauzi

Philosophy Figures - Jean Paul Sartre


Jean Paul Sartre




Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik. Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang  dikenal sebagai seorang guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.


Charles Schweitzer
Sejak kecil Sartre dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri . Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Picture of Nizan Paul and Simone de Beauvoir

Pada usia 16 tahun, Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure. Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu. Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama, berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.


Picture of Immanuel Kant and Martin Heidegger

Pada tahun 1924 Sartre pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menerjemahkan la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.

Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal.

Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.

Sartre dibebaskan pada bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty, Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale, mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941,

Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia dipandang sebagai penseur engagé karena ia menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu‘Eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya, ia muncul dan tidak dapat ditolak. Untuk memberi makna hidup, manusia hanya dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari siapapun:L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’

Ketika Sartre mengerjakan Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.

Karya-karya Jean-Paul Sartre
·       La Trencendance de l’Égo (1936)
·       L’Imagination (1936)
·       Esquisse d’une théorie des émotions (1939)
·       Le Mur (1939)
·       La Nausée (1938)
·       Les Mouches (1943)
·       L’Etre en le Néant (1943)
·       Huis Clos (1944)
·       Chemins de la Liberté
·       L’Âge de Raison
·       Le Sursis
·       L’Existentialisme est un humanisme (pidato) (1946)
·       La Putain Respectueuse
·       Réflexions sur loa question juive
·       Essai sur Beaudelaire (1947)
·       Les Mains sales (1948)
·       La Mort dans l’âme (1949)
·       Le Diable et le Bon Dieu (1951)
·       Saint Genet, comédien et martyr
·       Nekrassov (1955)
·       Les Séquestrés d’Altona
·       L’Être et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
·        Les Mots (1964)
·       L’Idiot de la Famille (1971)


 Jean Paul Sartre dan Pemikirannya
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Filsuf-filsuf sebelum Sartre menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.

·       Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.

Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.

Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu Être en soi yang merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.

·       Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.

·       Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini. Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.


Jean-Paul Sartre merupakan salah satu filsuf Perancis abad ke-20 yang produktif. Menurut Sartre eksistensi mendahului esensi, maksudnya adalah manusia ‘ada’ lalu menemukan hakikatnya. Hakikat itu tidak mendahului keberadaan manusia dan Sartre menolak segala pemikiran tentang konsep normatif yang menjadi acuan bagi manusia mendahului keberadaannya. Eksistensialisme menyinggung subjektifitas, oleh karena itu eksistensi seseorang akan selalu bersinggungan eksistensi orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Nugraha, F. M. (2012, March 11). Retrieved Oktober 19, 2014, from http://nederindo.com: http://nederindo.com/2012/03/gagasan-filosofis-jean-paul-sartre-dalam-les-mouches/
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

  1. Nunki, saya mau tanya satu hal. Dalam bahasan diatas, dikatakan bahwa Sarte meniadakan Tuhan. Kalau memang benar begitu, lantas dari manusia itu sendiri ada di dunia kalau tidak karena Tuhan? Jujur saja saya bingung, karena menurut saya, itu dua hal yang bertolakbelakang. terimakasih :)

    ReplyDelete