Jean Paul Sartre
Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang
filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan
merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik.
Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne
Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre
memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang dikenal sebagai seorang
guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer
yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.
Charles Schweitzer |
Sejak kecil Sartre
dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah
meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan
oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting
dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal
karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki
usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil
Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang
membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri .
Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya
sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Picture of Nizan Paul and Simone de Beauvoir
Pada usia 16 tahun,
Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang
bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure.
Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib
Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara
keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran
Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis
sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu.
Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama,
berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.
Picture of Immanuel Kant and Martin Heidegger
Pada tahun 1924 Sartre
pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan
Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang
menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menerjemahkan
la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat
kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat.
Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru
filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.
Pada tahun 1938, saat
sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La
Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre
yang terkenal.
Pada tahun 1929, Sartre
bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang
meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9
bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan
perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan
terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario
teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.
Sartre dibebaskan pada
bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia
kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di
kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty,
Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale,
mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941,
Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia
dipandang sebagai penseur engagé karena ia
menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya.
Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang
disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu‘Eksistensi
manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre
mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya,
ia muncul dan tidak dapat ditolak. Untuk memberi makna hidup, manusia hanya
dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan
dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari
siapapun:L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia
tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’
Ketika Sartre mengerjakan
Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya
terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak
bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya
tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun
kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.
Karya-karya Jean-Paul Sartre
·
La
Trencendance de l’Égo (1936)
·
L’Imagination (1936)
·
Esquisse
d’une théorie des émotions (1939)
·
Le
Mur (1939)
·
La
Nausée (1938)
·
Les
Mouches (1943)
·
L’Etre
en le Néant (1943)
·
Huis
Clos (1944)
·
Chemins
de la Liberté
·
L’Âge
de Raison
·
Le
Sursis
·
L’Existentialisme
est un humanisme (pidato)
(1946)
·
La
Putain Respectueuse
·
Réflexions
sur loa question juive
·
Essai
sur Beaudelaire (1947)
·
Les
Mains sales (1948)
·
La
Mort dans l’âme (1949)
·
Le
Diable et le Bon Dieu (1951)
·
Saint
Genet, comédien et martyr
·
Nekrassov (1955)
·
Les
Séquestrés d’Altona
·
L’Être
et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
·
Les Mots (1964)
·
L’Idiot
de la Famille (1971)
Jean Paul Sartre dan
Pemikirannya
Eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya
eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi
mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak
masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Filsuf-filsuf sebelum
Sartre menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan.
Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan
penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi
tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia
adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah
yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba
meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia
pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus
mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan
kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang
dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya
karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia
adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
·
Kesadaran
Konsepsi mengenai
kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami
eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan.
Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan
kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan
substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda
melainkan kosong.
Sartre mengemukakan
adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya
kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata
lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya
bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi
dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu
menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya,
maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan
modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia
pada dua tipe eksistensi yaitu Être en soi yang
merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa
celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam
hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus
lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah
yang berkesadaran dan kosong.
·
Waktu
Sartre menolak konsepsi
waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya,
titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan
masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan.
Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe
eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena
tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka
pada segala kemungkinan.
·
Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas”
merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini. Kebebasan itu pertama
dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau
dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia
adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan
dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas.
Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre
beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru
mengindikasikan tanggung jawab.
Jean-Paul Sartre
merupakan salah satu filsuf Perancis abad ke-20 yang produktif. Menurut Sartre
eksistensi mendahului esensi, maksudnya adalah manusia ‘ada’ lalu menemukan
hakikatnya. Hakikat itu tidak mendahului keberadaan manusia dan Sartre menolak
segala pemikiran tentang konsep normatif yang menjadi acuan bagi manusia
mendahului keberadaannya. Eksistensialisme menyinggung subjektifitas, oleh
karena itu eksistensi seseorang akan selalu bersinggungan eksistensi orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Nugraha, F. M. (2012, March 11). Retrieved Oktober 19, 2014, from http://nederindo.com: http://nederindo.com/2012/03/gagasan-filosofis-jean-paul-sartre-dalam-les-mouches/
Nunki, saya mau tanya satu hal. Dalam bahasan diatas, dikatakan bahwa Sarte meniadakan Tuhan. Kalau memang benar begitu, lantas dari manusia itu sendiri ada di dunia kalau tidak karena Tuhan? Jujur saja saya bingung, karena menurut saya, itu dua hal yang bertolakbelakang. terimakasih :)
ReplyDelete